Bolehkah golput? kalo ternyata yang dipilih nggak yang layak-oke-bagus...
Saat ini ‘euforia’ pemilu 2009 sudah semakin terasa. Banyak partai bermunculan ditelevisi dan di jalan-jalan untuk memamerkan rayuannya dan dagangannya, termasuk partai yang berasaskan islam.
Di sisi lain, dalam beberapa diskusi yang diadakan di televisi dan survey yang dipublikasikan media massa serta publikasi hasil pilkada didapatkan fakta : rakyat semakin ‘enggan’ menyalurkan suara politiknya lewat partai-partai yang ada.
Berangkat dari realitas itu pula beberapa hari kebelakang MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya ‘golput’ dengan harapan tingkat partisipasi masyarakat di pemilu nanti akan ada peningkatan. Namun,
Pertanyaannya : Mengapa rakyat (sebagian) cenderung golput?
Pertanyaan ini penting dijawab. Sebab, sejatinya alternatif pilihan masyarakat saat ini adalah partai-partai Islam tetapi ternyata tidak.
Menurut Rahmat Kurnia (2008) Siapapun yang mengikuti dinamika masyarakat kekinian akan menemukan setidaknya ada empat (4) faktor penyebabnya yaitu :
1. Kegagalan partai dalam berfihak kepada masyarakat. Keinginan masyarakat pada partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam sangat ditunggu-tunggu. Survey PPIM tahun 2001 menunjukkan prefernsi (pilihan) masyarakat terhadap syariah 61 %, tahun 2002 meningkat menjadi 71%, tahun 2003 meningkat menjadi 74%. Ternyata 5 tahun berikutnya, berdasarkan survey SEM Institute pada awal tahun 2008 meningkat secara tajam mencapai 83 %.
Namun, mengapa keinginan kuat terhadap syariah tidak berbanding lurus dengan dukungan masyarakat terhadap partai politik islam? Ternyata, penelitian Indo Barometer (2008) menunjukkan persepsi masyarakat bahwa tidak ada bedanya partai Islam dengan partai lain (43,3%), dan perilaku elite/pengurus dari partai islam sama dengan partai lain yang bukan dari partai islam (34,8%).
Wakil-wakil rakyat di DPR pada periode ini menunjukkan perilaku yang mirip dengan wakil rakyat dari partai sekuler. Pembelaan wakil rakyat terhadap kepentingan umat Islam tidak tampak. Justru sebaliknya, terbaca oleh masyarakat, partai-partai yang ada tak terkecuali partai Islam, hanya menjadikan parlemen sebagai ajang untuk mencari penghidupan dan berebut kue kekuasaan. Kalangan DPR, termasuk partai islam justru setuju dengan kenaikan harga BBM. Ketika rakyat teriak-teriak antri minyak tanah dan harga sembilan bahan pokok melambung, kebanyakan para wakil rakyat hanya diam.
2. Kegagalan pendidikan politik idiologis.
Hal ini adalah akibat politik pragmatisme yang menguasai kancah perpolitikan saat ini. Sikap ini merugikan umat islam dan partai islam. Pragmatisme akan mendegradasi tujuan dan cita-cita perjuangan islam. Siapapun tak dapat menyangkal, pragmatisme berarti harus merelakan diri menyesuaikan diri dengan keadaan/fakta; artinya melepaskan nilai-nilai dasar perjuangan dan idiologi partai yang telah digariskan. Karakter partai Islam akan luntur. Memang bisa berdalih, ini semeua masih dalam koridor Islam. Namun, dalih ini sebenarnya hanya pemanis mulut, bukan arus utama.
Proses pendidikan politik masyarakat mandeg. Apa yang dilihat oleh masyarakat hanyalah dagelan elit politik. Partai-partai hanya menyapa rakyat ketika akan Pemilu atau Pilkada. Kaderisasi, penanaman Islam sebagai way of life, dan pemikiran politik tidak tergarap. Sumberdaya hanya dikerahkan demi suara. Wajar belaka jika kesadaran politik rakyat tidak meningkat.
3. Pembusukan citra partai islam.
Tidak dipungkiri ada upaya untuk mencitraburukkan partai islam. Hal sederhana, masalah poligami dipolitisasi sedemikian rupa sehingga seakan akan pelakunya berbuat criminal. Belum lagi isu kekerasan terus dilekatkan pada gerakan/lembaga dan partai Islam. Untuk menghindari hal tersebut, bergeraklah partai islam untuk meninggalkan idiologi islam, citra islam, bahkan symbol-simbol islam. Alih-alih bersifat ofensif menawarkan islam sebagai solusi, justru sibuk cuci tangan terhadap pelekatan Islam pada dirinya. Sudah dapat ditebak, partai Islam pun tinggal sekedar nama.
4. Skandal politisi.
Sebagian anggota DPR dilanda skandal seks. Kasus suap dan gratifikasi yang begitu telanjang dilakukan anggota DPR. Tingkat kesadaran anggota DPR melaporkan gratifikasi hanya 1,9%. Main mata dalam setiap pembuatan undang-undang bukan rahasia lagi. Semua itu tidak hanya melibatkan partai sekuler. Partai yang menamakan dirinya Islam sekalipun ada yang terlibat di dalamnya. LSI menyebutkan di tahun 2008, kepuasan public terhadap pemerintah dalam 3 tahun terakhir turun, dan kepercayaan masyarakat terhadap DPR pun dibawah 50 %.
Last but not least, penyebab utamanya adalah system demokrasi itu sendiri. Dalam system demokrasi opini menjadi sangat penting. Orang harus terkenal untuk bisa memenangkan Pemilu. Uang pun digelontorkan untuk beriklan dimedia massa. Kampanyepun membutuhkan dana yang tidak sedikit. Darimana uangnya? Dari para anggota partai yang jadi pejabat, para pengusaha atau asing. Tidaklah mengherankan, anggota DPR makan suap, karena sebagian uangnya masuk kedalam kocek partai.
Begitu juga logis sekali main-mata dengan pengusaha dan asing hingga pembuatan UU selalu berfihak kepada mereka karena mereka dibiayai oleh para penguasa dan asing itu. Negara pun berubah dari nation state (Negara-bangsa) menjadi corporate state(Negara-perusahaan). Negara laksana sebuah perusahaan besar: para konglomerat sebagai pemilik modal: para pejabat menjadi pengelolanya; dan rakyat sebagai pihak pembeli yang diekspoitasi. Pilkada dan Pemilu pun tidak lebih dari suatu industri politik. Karenanya, mempertahankan sistem demokrasi sama dengan memelihara penyakit.
Mengapa Ada yang Golput ?
Written By blogsmartcampz on April 2, 2009 | 10:22:00 PM
Labels:
Main Article,
News,
Politik
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !