Aku masih duduk bersimpuh. Ku ambil segenggam pasir lalu ku taburkan pada wajahnya. Siapa yang tahan menikmati ludah syetan? Siapa yang tahan pula diam, di hujan kata, menodai makna. Memang, aku menghadirkannya dalam kabut merah. Tapi, tak disangka ia menusukku dengan pisau yang ia curi dari neraka.
Dia menatap wajahku, dan aku balas menatapnya. Dia memegang leherku, aku pun memegang lehernya.
“Pendusta!!!” Ungkapnya.
“Kau yang pendusta” Aku balas menghujat.
“Kau tak punya Cermin!!!”
“Kau yang tak punya!”
Dia melepaskan leherku, akupun melepaskannya, ah, biarlah, malaikat bertanduk hitam itu, dengan gaya seperti tangan kuasa, suatu saat ia akan mendapat kotoran-kotoran para pendusta. Aku tak mengerti apa yang ia inginkan. Tapi, dia pernah berkata bahwa langit-langit kuburan akan ia singgahi. Kapan? Entahlah, sepertinya dia hanya ingin menenggelamkan ruh kesucianku untuk ia santap. Takutkah aku? Maaf kawan, tak sedikitpun rasa takut menghantuiku. Dan dia pun pernah berkata bahwa ia akan mendapatkan nyawaku walau bagaimanapun caranya. Dasar! Bejana hitam. Wajahmu sama hitamnya.
***
Jam 06.00 pagi, jam 12.00 siang, jam 06.00 sore, jam 12.00 malam. Waktu terus berputar dengan cepat. Seprti angin yang memberikan kesejukan ketika panas. Malam masih dingin, ku tatap langit, ada yang berbeda, mengapa bintang itu tidak ada? Mengapa bulan tak bercahaya? Aku yakin, ini ulah Si manusia Syetan itu. Tak henti-henti ia mengetahui keberadaanku, menelusuri jiwaku dan memotong laskar kehidupanku, belum tahu kau siapa diriku?
Tak lama kemudian dia datang.
“Mau apa kau?” Tanyaku
“Aku hanya ingin berdansa dalam ketidaktahuan. Dan aku akan mengajakmu ketempat yang kau inginkan. Surga. Bagaimana?”
“Entak aku salah dengar atau mulut rombengmu yang salah ucap? Uh… membuatku sakit telinga”
“Terserah kau, tapi aku hanya ingin mengajakmu. Maukah kita ke Surga?”
“Tidak mungkin, tidak mungkin. Aku tidak akan pernah bersama dirimu. Dulu, ketika ku memberikan apa yang kau inginkan, kau tak memberi apa yang aku inginkan. Dulu, ketika kau ragu tentang sesuatu yang harusnya kau tak ragu, kau TI-A-DA. Aku tidak pernah perduli dan tak akan ikut dengan mu walaupun kau membelah bulan, bumi dan matahari. Kini mungkin bunga-bunga ditaman balik mengejekmu. Atau bisa jadi malaikat putih memberikan sayapnya supaya kamu pergi. Sudikah kamu untuk itu? Tunjukan padaku, katanya kau ingin singgah dilangit-langit kuburan!”
Dia terdiam. Kelihatannya dia bingung. Salah dia sendiri, mengapa dia melemparkan kejujuran. Orang yang tak pernah jujur suatu saat akan terlempar, merasa benar padahan salah. Sudah tahu salah masih saja membenarkan ketidak benaran.
Akhirnya, dia pulang dan kulihat dia berjalan dengan penuh haru. Aku tidak salah, ku peringatkan dia supaya tidak hanya bisa menjadi kelinci. Selalu ku tegur dia bahwa takdirnya hanyalah sebagai monyet kota yang menari. Aku lelah, aku mau pulang.
***
Baru saja aku bangun tidur, sepucuk surat sudah ada untukku yang sudah menanti aku untuk segera membukanya. Dan ku buka amplop berwarna merah itu. Namun, mengapa warnanya merah? Aku tidak suka warna itu. Apalagi pada zaman sekarang, satu negara dengan negara lain saling mengibarkan kain warna merah. Hingga timbul banyak caira-cairan merah pada jiwa manusia. Kasihan.
Aku baca isi sura itu, entah dari siapa pengirimnya. Isi sura tersebut…
“Kepada sahabatku, dimanapun engkau berada…
Salam perjuangan!!
Di sini, sungguh aku terlantar. Di pelupuk ke galauan, dan tak ada siapa-siapa di sini. Aku berkata, memahami makna dan yang terpenting bagiku Cinta. Aku disini tersiksa dan ku harap kau disini menjemputku. Di langit-langit kuburan. Si manusia Syetan itu yang menghancurkanku! Ku tunggu kau di sini, agar kau dan aku tidak mati.
Manusia terbelenggu”
Memang, dia ingin benar-benar membunuh aku yang tak berdosa. Baik, aku akan pergi dan aku ingin tahu seberapa besar keberaniannya menghadapiku.
Panas matahari terus menyengat, kepala seperti diguyur lahar, tapi aku masih berpijak pada tujuanku, langit-langit kuburan. Aku melihat ada seseorang didepan dan aku bertanya
“Apakah kamu tahu apa yang aku cari?” tanyaku.
“Tidak!” Jawabnya dengan ketus.
“Bodoh, dasar bodoh. Seharusnya aku tidak bertanya kepadamu”
“Mengapa kau bertanya padaku”
“Semoga saja kamu tahu”
Aku terus melanjutkan perjalananku, tak ada tang bisa kutanya lagi, kecuali… kecuali batu-batu api dan makhluk penjemput maut. Jika aku mendekatinya, matilah aku, persetan dengan dia, akan ku cuba bertanya pada makhluk itu.
“Hai kamu. Bisakah kau menunjukan apa yang aku cari?”
“Bisa. Bukankah langit-langit kuburan?”
“Dari mana kamu tahu?”
“Aku pemiliknya”
“Antarkan aku kesana”
“Tapi syaratnya kau harus mati”
“Cuah! Percuma aku berjalan sejauh ini menempuh hidup. Tak ingin aku mati, jikalau pada akhirnya harus mati, tak ada jalankah selain itu?”
“Ada, kamu harus kembali”
“Bedebah. Kau sama saja dengan orang yang aku hindari. Tukang jagal!”
Sempat aku bingung, bila aku kembali aku mati. Dan bila aku diam disini aku juga mati. Baiklah, aku disini. Aku akan diam disini menandakan bahwa aku tidak diam.
Aku terhentak. Apa yang terjadi? Apakah aku tadi bermimpi? Atau hanya berhalusinasi? Hmm… ternyata sudah malam, saatnya aku tidur. Mungkin tadi hanya lamunan. Aku masuk ke dalam dan langsung tidur.
*The end*
Cerpen: Langit-Langit Kuburan
Oleh: M.F.R
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !